Mohammad Hatta, atau yang lebih akrab disapa Bung Hatta, bukan sekadar Wakil Presiden pertama Republik Indonesia, tetapi juga seorang pemikir besar yang memiliki visi ekonomi dan politik yang kokoh berlandaskan prinsip kerakyatan. Gagasan-gagasannya tak hanya hidup di masa perjuangan kemerdekaan, tetapi juga tetap relevan dalam pembangunan ekonomi Indonesia saat ini.
Dalam sebuah diskusi bertajuk “Relevansi Pemikiran Sosial Ekonomi Bung Hatta dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia” yang diselenggarakan di Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu (19/3), Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muslim Indonesia, Ratna Sari, menegaskan bahwa Bung Hatta berpegang teguh pada paham kerakyatan. Konsep ini bukan sekadar retorika, melainkan gagasan konkret yang diterjemahkan dalam kebijakan ekonomi dan sosial demi kesejahteraan rakyat banyak.
Menurut Ratna, terdapat tiga prinsip utama yang menjadi fondasi dalam paham kerakyatan Bung Hatta. Prinsip pertama adalah kemandirian ekonomi, yang menjadi landasan utama dalam membangun bangsa yang kuat dan tidak bergantung pada kekuatan asing. Bung Hatta meyakini bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat terwujud jika rakyat memiliki kemampuan untuk mengelola sumber daya ekonomi mereka sendiri. Dalam konteks ini, koperasi menjadi instrumen utama yang sesuai dengan budaya gotong royong khas Indonesia. Koperasi bukan hanya sekadar badan usaha, tetapi juga wadah bagi rakyat untuk bersama-sama membangun kesejahteraan kolektif, tanpa adanya eksploitasi dari segelintir kelompok. Bung Hatta memandang koperasi sebagai manifestasi nyata dari ekonomi berkeadilan, di mana kesejahteraan tidak hanya dinikmati oleh segelintir elite, melainkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Prinsip kedua dalam paham kerakyatan Bung Hatta adalah keadilan sosial. Dalam perspektifnya, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya berorientasi pada pertumbuhan semata, tetapi juga harus memastikan bahwa hasil dari pembangunan tersebut dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi miskin dan tertindas. Bung Hatta menolak sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara sebagian besar rakyat tetap terpinggirkan. Oleh karena itu, ia menginginkan kebijakan yang berpihak kepada kaum kecil, memastikan akses yang setara terhadap sumber daya, serta menghapus ketimpangan sosial yang menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Prinsip ketiga yang ditekankan oleh Bung Hatta adalah demokrasi ekonomi. Ia berpendapat bahwa rakyat harus memiliki kontrol atas sumber daya ekonomi serta berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka. Demokrasi dalam ekonomi tidak hanya sebatas hak untuk memilih pemimpin politik, tetapi juga hak untuk menentukan arah pembangunan ekonomi yang sesuai dengan kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian, rakyat tidak hanya menjadi objek dalam sistem ekonomi, tetapi juga subjek yang memiliki peran aktif dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Ratna menekankan bahwa ketiga prinsip ini bukan sekadar teori, melainkan gagasan yang seharusnya terus diterapkan dalam kebijakan ekonomi Indonesia. Dalam konteks modern, nilai-nilai yang diperjuangkan Bung Hatta masih relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan kapitalisme yang kerap memperlebar jurang ketimpangan sosial. Dengan semangat kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi, Indonesia dapat terus berkembang menjadi negara yang kuat dan sejahtera tanpa meninggalkan prinsip-prinsip yang telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Lebih dari sekadar pemikir, Bung Hatta adalah seorang pelaku yang mewujudkan gagasannya dalam tindakan nyata. Paham kerakyatan yang ia usung bukanlah omong kosong, tetapi warisan berharga yang seharusnya terus dijaga dan diterapkan dalam setiap kebijakan ekonomi demi kesejahteraan rakyat Indonesia.