Tahun 2025 menjadi panggung transformasi besar bagi lanskap bisnis Jepang. Dalam enam bulan pertama saja, nilai merger dan akuisisi (M&A) di negara tersebut melesat ke angka US$232 miliar—setara Rp3.759 triliun—mengukuhkan Jepang sebagai episentrum kebangkitan aktivitas korporasi di Asia.
Lonjakan ini bukan sekadar angka. Ia mencerminkan langkah strategis yang dipimpin oleh para eksekutif dan pemimpin perusahaan Jepang dalam merespons dua tantangan utama: valuasi perusahaan yang rendah dan pasar domestik yang menyusut. Dengan mengedepankan reformasi manajemen dan prinsip tata kelola perusahaan yang lebih ketat, mereka membuka pintu untuk investasi baru—baik dari dalam maupun luar negeri.
“Kesepakatan besar seperti privatisasi anak usaha Toyota dan NTT menjadi sinyal kuat bahwa perubahan sedang dikomandoi dari atas,” ujar Kei Nitta, Kepala Global M&A di Nomura Securities. Dalam dua transaksi raksasa tersebut, nilai akuisisi mencapai gabungan lebih dari Rp800 triliun—di antara yang terbesar di dunia tahun ini.
Tren ini tak hanya melibatkan raksasa industri. Lembaga keuangan seperti Dai-ichi Life dan Nomura Holdings juga ikut memperkuat gelombang ini, menegaskan bahwa strategi pertumbuhan agresif telah menjadi pilihan lintas sektor. Meski ketidakpastian global membayangi, para pemimpin perusahaan Jepang menunjukkan keteguhan untuk tetap ekspansif—baik melalui akuisisi ke luar negeri maupun penguatan struktur internal.
Ada pula faktor struktural yang memperkuat momentum ini. Suku bunga rendah, dukungan pemerintah terhadap tata kelola yang transparan, dan stabilitas relatif dari ekonomi Jepang menjadikan negeri sakura ini lingkungan yang kondusif untuk restrukturisasi besar.
Namun, jalan ke depan tidak sepenuhnya mulus. Menurut Atsushi Tatsuguchi dari Mitsubishi UFJ Morgan Stanley, masih ada tantangan dalam menyamakan ekspektasi antara pembeli dan penjual—terutama terkait valuasi jangka panjang. Beberapa kesepakatan bahkan batal akibat ketidaksesuaian pandangan terhadap masa depan ekonomi global.
Meski demikian, optimisme tetap tinggi. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan global mulai meninjau ulang rantai pasokan dan alokasi sumber daya. Jepang, dengan stabilitas dan potensi transformasi manajemen yang tengah berlangsung, menjadi titik fokus dalam pemetaan strategi masa depan.
Momentum ini bukan hanya tentang transaksi keuangan. Ini tentang visi para pemimpin Jepang dalam merancang ulang fondasi korporasi mereka untuk bertahan, tumbuh, dan bersaing dalam ekonomi global yang kian kompleks.