Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai Januari 2025 terus menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat dan pemangku kebijakan. Salah satu organisasi yang lantang menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini adalah Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII). Mereka meminta pemerintah untuk mengevaluasi ulang keputusan tersebut, dengan alasan potensi dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat kecil.
Ketua Umum PB PMII, M. Shofiyulloh Cokro, menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat kelas bawah. Dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/12), ia menyoroti bagaimana kenaikan tarif PPN dapat memengaruhi harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan melemahkan daya beli masyarakat. Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat kecil masih berjuang memulihkan diri dari dampak pandemi COVID-19, sehingga kebijakan yang memberatkan hanya akan menambah beban mereka.
“Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN 12 persen ini akan berdampak langsung pada masyarakat kecil. Pemerintah perlu memikirkan ulang kebijakan ini agar tidak menjadi bumerang bagi stabilitas ekonomi nasional,” ujar Shofiyulloh.
Ketua Bidang Ekonomi dan Investasi PB PMII, Ramadhan, menambahkan bahwa kebijakan ini memerlukan kajian yang lebih mendalam. Ia berharap pemerintah dapat lebih melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi rakyat. Menurutnya, inklusivitas dalam perumusan kebijakan adalah kunci untuk menciptakan stabilitas sosial, terutama di tengah suasana liburan akhir tahun.
“Kami mendesak pemerintah untuk mengutamakan dialog dengan masyarakat. Kebijakan fiskal seperti ini harus mencerminkan keberpihakan pada rakyat kecil yang jumlahnya sangat besar,” ungkap Ramadhan.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko Pemmas), Muhaimin Iskandar, memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan menyasar sektor-sektor vital seperti UMKM dan pariwisata. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang dengan hati-hati untuk melindungi sektor-sektor yang menjadi tumpuan hidup masyarakat luas.
“Barang dan jasa yang dikenakan PPN 12 persen adalah barang-barang mewah, bukan kebutuhan dasar. Pemerintah memastikan bahwa sektor UMKM tetap mendapatkan perlindungan dan dukungan,” tegasnya.
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Maman Abdurrahman, juga memberikan jaminan bahwa kebijakan ini tidak akan membebani masyarakat kelas bawah. Ia menjelaskan bahwa barang-barang yang dikenakan kenaikan tarif adalah barang-barang premium, bukan barang kebutuhan pokok. Menurutnya, langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan fiskal tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat kecil.
PB PMII tetap berpendapat bahwa kebijakan ini harus dikaji ulang dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Mereka menilai bahwa keputusan fiskal seperti ini memerlukan transparansi dan kepekaan sosial agar dapat memberikan manfaat bagi semua pihak tanpa menciptakan ketimpangan yang lebih besar.