Jakarta — Utang pemerintah global kembali mencetak rekor pada 2025, dengan total mencapai lebih dari US$110 triliun. Data dari IMF dan Visual Capitalist menunjukkan bahwa beban utang kini menjadi salah satu indikator utama kesehatan fiskal negara, mencerminkan strategi belanja, kebijakan pinjaman, dan kemampuan manajemen ekonomi.
Di posisi teratas, Amerika Serikat mencatat utang terbesar di dunia, mencapai sekitar US$38,27 triliun, setara lebih dari 125% dari PDB. Lonjakan ini dipicu oleh defisit anggaran jangka panjang dan stimulus fiskal besar‑besaran, meski tetap ditopang oleh kepercayaan investor global terhadap surat utang AS.
China berada di urutan kedua dengan utang sekitar US$18,68 triliun, sebagian besar berasal dari investasi infrastruktur dan pinjaman pemerintah daerah. Jepang, yang selama puluhan tahun dikenal dengan rasio utang terhadap PDB tertinggi, masih menempati posisi tiga besar dengan utang lebih dari US$12 triliun.
Negara‑negara Eropa juga mendominasi daftar, termasuk Italia, Prancis, dan Inggris, masing‑masing dengan utang ribuan miliar dolar yang mencerminkan tantangan fiskal jangka panjang. Di kawasan Asia Tenggara, Singapura masuk daftar dengan rasio utang terhadap PDB yang tinggi, meski tetap dianggap stabil berkat basis ekonomi yang kuat.
Fenomena ini menegaskan bahwa utang bukan hanya masalah negara berkembang, tetapi juga beban besar bagi ekonomi maju. Tantangan utama bagi negara‑negara dengan utang tinggi adalah menjaga keberlanjutan fiskal tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Bagi Indonesia, posisi masih relatif aman dibandingkan negara‑negara besar, namun tren global ini menjadi peringatan penting. Kebijakan fiskal yang hati‑hati, pengelolaan utang yang transparan, dan fokus pada pembangunan produktif menjadi kunci agar tidak terjebak dalam krisis utang di masa depan.
