Reformasi BUMN: Mengatasi Dualisme Peran dalam Menjalankan Tugas Sosial dan Mencapai Profitabilitas

Share:

Ekonom sekaligus politisi senior Partai Golkar, Abdul Rahman Farisi (ARF), memberikan apresiasi yang positif terhadap rencana Presiden terpilih Prabowo Subianto yang berencana melakukan reformasi besar-besaran terhadap Kementerian BUMN. Rencana ini diungkapkan oleh Burhanuddin Abdullah, Dewan Penasehat Presiden Terpilih, yang menyebut perlunya perubahan untuk mengoptimalkan peran BUMN dalam pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Menurut ARF, reformasi ini penting untuk menyeimbangkan dua peran utama BUMN yang selama ini sering menimbulkan dilema: sebagai pelaksana Public Service Obligation (PSO) dan sebagai entitas bisnis yang harus berorientasi pada keuntungan. “Dualisme peran ini perlu diperjelas karena BUMN tidak hanya dituntut untuk memberikan layanan publik yang berkualitas, tetapi juga harus menjaga keberlanjutan keuangannya agar tetap kompetitif,” ujar ARF pada Kamis (26/9).

Peran Historis BUMN dalam Pembangunan Nasional

ARF menguraikan bahwa sejak awal pembentukannya di era Presiden Soekarno, BUMN telah memainkan peran sentral dalam pembangunan nasional, khususnya dalam penyediaan layanan dasar seperti energi, transportasi, dan keuangan. Perusahaan seperti PLN, PT Kereta Api Indonesia, dan Pertamina didirikan untuk memastikan masyarakat di seluruh pelosok negeri dapat menikmati layanan yang setara dan terjangkau.

Namun, pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, fokus BUMN mulai beralih ke aspek profesionalisme dan efisiensi, meskipun tetap menjalankan tugas-tugas PSO di sektor-sektor strategis. Perubahan ini ditujukan agar BUMN tidak hanya berfungsi sebagai agen pembangunan, tetapi juga dapat meningkatkan daya saingnya di pasar yang semakin kompetitif.

Menyeimbangkan PSO dan Kebutuhan Bisnis di Era Modern

Meskipun telah terjadi pergeseran fokus, ARF menegaskan bahwa tantangan besar masih ada dalam hal keseimbangan antara tugas sosial dan profitabilitas. Ia menyoroti bahwa BUMN yang dibebani dengan PSO sering kali harus memberikan layanan dengan margin keuntungan yang rendah, sementara mereka tetap dituntut untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan swasta yang lebih berorientasi pada laba.

Untuk menghadapi tantangan ini, ARF mengusulkan bahwa reformasi BUMN perlu difokuskan pada upaya efisiensi, peningkatan kualitas layanan publik, dan pemisahan yang lebih jelas antara fungsi PSO dan kegiatan komersial. “BUMN yang bertugas menjalankan PSO tidak seharusnya ditekankan untuk mengejar profit maksimal, karena hal ini akan merugikan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat,” jelas ARF.

Modernisasi dan Transformasi Layanan BUMN PSO

ARF juga menekankan pentingnya modernisasi layanan yang dijalankan oleh BUMN, terutama yang terkait dengan PSO. Ia mendorong percepatan digitalisasi dan peningkatan aksesibilitas layanan, agar BUMN mampu bersaing dengan perusahaan swasta dan memberikan manfaat lebih besar kepada masyarakat. “BUMN yang fokus pada PSO harus menjadi pelopor dalam memberikan layanan yang lebih cepat, mudah diakses, dan inovatif dibandingkan instansi pemerintah lainnya,” tegasnya.

Selain itu, ARF mengusulkan agar tim ekonomi Prabowo mempertimbangkan pembentukan badan baru yang bertugas membina dan mengawasi BUMN, dengan pemisahan yang lebih jelas antara fungsi sosial dan bisnis komersial. Dengan langkah ini, BUMN akan lebih fleksibel dalam menjalankan peran sosialnya tanpa harus mengorbankan keberlanjutan finansial.

Menyongsong BUMN yang Lebih Kompetitif dan Responsif

Di masa mendatang, ARF optimis bahwa dengan kebijakan yang tepat, BUMN Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan penggerak utama perekonomian nasional. Reformasi yang fokus pada keseimbangan antara peran sosial dan bisnis akan menjadikan BUMN lebih kompetitif di pasar global, tanpa melupakan tugas utamanya dalam melayani masyarakat.

“Transformasi yang seimbang antara peran bisnis dan tugas sosial inilah yang akan menentukan keberhasilan BUMN ke depannya,” pungkas ARF.