Proyeksi Suram Ekonomi Indonesia di Tengah Kebijakan Proteksionisme Trump

Share:

Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang signifikan akibat kebijakan proteksionisme yang akan diterapkan Presiden terpilih AS, Donald Trump. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI), Sunarso, mengungkapkan proyeksi yang mengkhawatirkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan berada di bawah 5%. Kebijakan proteksionisme Trump yang menekankan pada pendekatan inward-looking diyakini akan memperburuk kondisi perdagangan global, khususnya melalui peningkatan ketegangan antara AS dan Tiongkok. Ketegangan ini diharapkan akan memicu perang dagang yang tidak hanya berdampak bagi kedua negara tersebut, tetapi juga bagi ekonomi global dan Indonesia sebagai salah satu mitra dagang utama mereka.

BRI telah menyusun dua skenario sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan dampak dari perang dagang tersebut. Pada skenario pertama, jika Tiongkok memberikan retaliasi atau tindakan balasan berupa kenaikan tarif atau pembatasan impor produk dari AS, perekonomian Indonesia diproyeksikan hanya akan tumbuh pada rentang 4,7% hingga 5,03% pada 2025. Sementara dalam skenario kedua, yang lebih mengkhawatirkan, jika proteksionisme AS memicu respons balasan dari negara-negara lain di samping Tiongkok, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan lebih tertekan dan berada di kisaran 4,6% hingga 4,9%.

Saat rapat dengan Komisi VI DPR, Sunarso mengungkapkan bahwa proyeksi ini didasarkan pada analisis mendalam terkait hubungan ekonomi Indonesia dengan dua negara ekonomi besar tersebut. Hubungan dagang Indonesia dengan Tiongkok terbukti memiliki dampak lebih besar dibandingkan dengan AS, di mana indeks korelasi ekonomi Indonesia dengan Tiongkok berada di angka 0,351, lebih tinggi daripada dengan AS yang berada di 0,347. Hal ini berarti setiap perubahan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sebagai dampak dari perang dagang atau kebijakan AS, akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia. Mengingat ketergantungan Indonesia pada perdagangan dengan Tiongkok, penurunan aktivitas ekonomi Tiongkok dipastikan akan menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

BRI juga menggarisbawahi potensi kontraksi pada perdagangan global sebesar 8,5% akibat kebijakan proteksionisme AS yang dapat membatasi arus impor dan ekspor Amerika. Kondisi ini, ditambah dengan kenaikan inflasi AS yang dipicu oleh pembatasan perdagangan, kemungkinan besar akan membuat Federal Reserve menaikkan suku bunga federal fund rate (FFR) pada tahun depan. Kenaikan suku bunga ini diprediksi akan memberikan tekanan tambahan pada pasar global, yang berpotensi menyebabkan keluarnya aliran modal dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini dapat berdampak langsung pada nilai tukar rupiah serta menghambat investasi asing di Indonesia, yang pada akhirnya akan mempengaruhi perekonomian domestik secara keseluruhan.

Sunarso menjelaskan bahwa pihaknya akan terus memantau perkembangan ini dan telah mempersiapkan langkah-langkah strategis guna menghadapi tantangan yang mungkin muncul. BRI berharap pemerintah dapat menyiapkan kebijakan fiskal yang adaptif, dan mendorong sektor swasta untuk memperkuat ekspor ke pasar alternatif agar ketergantungan pada satu atau dua negara mitra dagang dapat berkurang. Selain itu, BRI mendorong pelaku usaha untuk mulai menjajaki pasar baru di Asia, Eropa, dan kawasan lainnya sebagai strategi untuk memitigasi dampak ketidakpastian ekonomi global.