PLTU Suralaya: Langkah Strategis untuk Mewujudkan Energi Bersih di Indonesia

Share:

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya yang terletak di Cilegon, Provinsi Banten, selama bertahun-tahun menjadi salah satu tulang punggung pembangkit listrik di Indonesia, dengan kapasitas total mencapai 1.600 megawatt (MW). Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya transisi energi menuju sumber daya yang lebih ramah lingkungan, keberadaan PLTU ini kini tengah mendapat perhatian lebih. Timotius Rafael, seorang peneliti lingkungan dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), menegaskan bahwa sudah saatnya PLTU Suralaya dipensiunkan, sebagai bagian dari langkah strategis untuk mempercepat transisi energi di Indonesia.

Suralaya, dengan unit-unit pembangkit 1 hingga 4 yang beroperasi sejak 1982 hingga 1989, telah berfungsi lebih dari empat dekade, jauh melebihi umur teknis ideal pembangkit listrik yang umumnya beroperasi selama 30 tahun. Sebagai pembangkit listrik tenaga batu bara, Suralaya menggunakan teknologi subcritical, sebuah teknologi yang dianggap usang karena efisiensinya yang rendah dalam menghasilkan listrik. Meskipun kapasitas besar yang dimilikinya, PLTU Suralaya justru menjadi salah satu penyumbang utama emisi karbon dioksida (CO2) di Indonesia, menghasilkan sekitar 10 juta ton CO2eq per tahun.

Selain itu, Suralaya juga menghadapi masalah besar terkait polusi udara yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara, terutama di wilayah sekitar pembangkit, seperti Cilegon dan Jakarta. Polusi ini tidak hanya memperburuk kualitas udara, tetapi juga meningkatkan risiko masalah kesehatan bagi masyarakat, termasuk gangguan pernapasan dan penyakit kardiovaskular akibat paparan partikel halus. Aktivitas pembangkit yang menggunakan batu bara sub-bituminous ini juga berkontribusi pada hujan asam dan pencemaran sulfur dioksida yang membahayakan ekosistem dan kehidupan sehari-hari warga.

Timotius Rafael menyebutkan bahwa PLTU Suralaya termasuk dalam daftar 13 pembangkit tenaga fosil yang prioritas untuk dipensiunkan lebih awal, dengan total kapasitas mencapai 4,8 gigawatt (GW). Pemensiunan ini, menurutnya, sangat penting untuk mendukung upaya Indonesia dalam mencapai netralitas karbon. Sebagai pembangkit tertua, PLTU Suralaya memiliki efisiensi termal yang sangat rendah, yang berarti lebih banyak batu bara dibutuhkan untuk menghasilkan listrik dibandingkan dengan pembangkit yang menggunakan teknologi lebih baru dan lebih efisien, seperti ultra supercritical (USC).

Dalam konteks transisi energi, keputusan untuk memensiunkan PLTU Suralaya menjadi penting karena menyangkut komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim. Mengurangi ketergantungan pada energi fosil, termasuk batu bara, adalah langkah krusial yang harus diambil untuk menjaga keberlanjutan lingkungan. Terlebih lagi, PLTU Suralaya beroperasi di bawah naungan PT Indonesia Power, sebuah perusahaan yang selama ini memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi utama. Perusahaan ini dihadapkan pada tantangan besar dalam mengganti pembangkit berbahan fosil dengan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Pemerintah Indonesia, yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto, memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan transisi energi ini berjalan dengan baik. Transisi ini tentu tidak mudah, mengingat banyaknya pembangkit fosil yang masih beroperasi di seluruh Indonesia. Namun, langkah strategis untuk memensiunkan pembangkit-pembangkit tua seperti PLTU Suralaya harus dilakukan sebagai bagian dari upaya kolektif untuk memperbaiki kualitas udara dan menciptakan energi yang lebih bersih bagi generasi mendatang. Transisi ini juga membuka peluang untuk mengembangkan energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, yang kini semakin terjangkau dan efisien.

Tidak dapat dipungkiri, pemensiunan PLTU Suralaya akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian dan ketersediaan listrik di Indonesia. Oleh karena itu, perencanaan yang matang dan transisi yang terstruktur sangat diperlukan agar tidak terjadi gangguan besar dalam pasokan listrik nasional. Namun, dengan adanya teknologi energi terbarukan yang berkembang pesat, Indonesia memiliki potensi untuk menggantikan pembangkit fosil ini dengan sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ini akan menjadi langkah besar menuju Indonesia yang lebih hijau dan sehat.