// Leadership Update

Mengapa 1 Juta Sarjana di Indonesia Masih Menganggur, dan Apa yang Bisa Kita Pelajari

August 26, 2025

Share:

Jakarta – Pendidikan tinggi selama ini dianggap sebagai tiket menuju masa depan cerah. Namun, data terbaru menunjukkan realitas yang mengejutkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Februari 2025, dari 7,28 juta pengangguran di Indonesia, lebih dari 1 juta di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa gelar bukan jaminan karier gemilang.

Di tengah kompetisi pasar kerja yang semakin ketat, banyak lulusan sarjana justru menghadapi tantangan berat. Degree inflation atau inflasi gelar menyebabkan nilai ijazah menurun, karena jumlah lulusan tidak sebanding dengan ketersediaan lapangan kerja. Akibatnya, persaingan menjadi semakin tajam.

Banyak perusahaan pun masih menjadikan gelar hanya sebagai formalitas. Fenomena credentialism ini membuat lulusan sarjana berkompetisi untuk posisi yang sebenarnya bisa diisi oleh mereka dengan pengalaman atau keterampilan non-formal. Kondisi ini semakin mempertegas kesenjangan antara dunia pendidikan dan realitas lapangan kerja.

Tantangan lain adalah underemployment, yaitu ketika sarjana bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Seorang lulusan teknik yang bekerja sebagai kasir, atau sarjana ekonomi yang memilih menjadi pengemudi ojek online, adalah cerminan dari ketidakselarasan antara gelar akademik dan kebutuhan pasar.

Penyesalan juga muncul akibat biaya pendidikan tinggi yang tidak sebanding dengan hasil. Survei di Inggris dan AS memperlihatkan banyak lulusan menyesal kuliah karena merasa terjebak utang pendidikan, sementara pekerjaan yang diperoleh tidak membutuhkan gelar. Di Indonesia, meski konteks berbeda, beban biaya dan ekspektasi yang tidak terpenuhi juga menjadi isu nyata.

Dalam era transformasi digital, perusahaan semakin mengutamakan keterampilan dibanding sekadar ijazah. Sertifikasi keahlian, pengalaman langsung, hingga kemampuan adaptasi dinilai lebih relevan. Hal ini selaras dengan tren global di mana banyak raksasa teknologi tidak lagi mewajibkan gelar sarjana untuk sejumlah posisi strategis.

Ketidaksesuaian kurikulum dengan kebutuhan nyata juga menjadi faktor kunci. Pendidikan yang terlalu teoritis, minim pelatihan praktis, membuat lulusan tidak siap menghadapi tantangan industri. Di sisi lain, mismatch antara jurusan populer dan kebutuhan tenaga kerja berbasis STEM, vokasi, atau teknik memperlebar jurang pengangguran sarjana.

Namun, generasi muda mulai menyadari bahwa kuliah bukan satu-satunya jalan. Bootcamp, kursus digital, hingga jalur wirausaha kini dipandang sebagai alternatif yang lebih relevan. Kesadaran ini bisa menjadi titik balik, di mana pendidikan tidak lagi semata-mata tentang gelar, tetapi tentang kesiapan menghadapi realitas dunia kerja.

Fenomena sarjana menganggur menjadi peringatan penting bagi pemangku kebijakan, institusi pendidikan, dan dunia usaha. Relevansi kurikulum, investasi pada keterampilan praktis, serta akses pendidikan yang lebih adaptif perlu segera diperkuat. Pada akhirnya, membangun generasi yang siap kerja berarti melahirkan lulusan yang tidak hanya berijazah, tetapi juga memiliki daya saing, kreativitas, dan kepemimpinan untuk menjawab tantangan masa depan.