Lonjakan Biaya Produksi: Ancaman Serius bagi Masa Depan Manufaktur Indonesia

Share:

Sektor manufaktur Indonesia memasuki akhir tahun 2024 dengan sinyal positif dari peningkatan Purchasing Managers’ Index (PMI), namun di balik perkembangan ini tersembunyi tantangan serius yang mengancam keberlanjutan pertumbuhannya. Salah satu tantangan terbesar adalah lonjakan harga bahan baku yang memberikan tekanan besar terhadap operasional perusahaan manufaktur di seluruh negeri.

Yusuf Rendy Manilet, peneliti dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia, menyatakan bahwa tekanan biaya produksi telah menjadi isu utama sejak akhir tahun 2024. Dalam wawancara pada Jumat (3/1), ia menjelaskan bahwa meski permintaan baru dan tingkat produksi meningkat, kenaikan biaya bahan baku telah memaksa banyak perusahaan untuk menekan kapasitas produksi mereka.

Dampak kenaikan ini terasa luas, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang memiliki keterbatasan dalam menyerap kenaikan biaya tersebut. Perusahaan-perusahaan ini sering kali tidak memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan harga produk mereka, sehingga margin keuntungan mereka terus tergerus. Tekanan ini diperburuk oleh ketidakpastian dalam rantai pasok global, yang menyebabkan fluktuasi harga bahan baku semakin sulit diprediksi.

Ketatnya persaingan di pasar domestik dan global juga menambah lapisan tantangan bagi pelaku industri manufaktur. Yusuf menjelaskan bahwa untuk tetap kompetitif, perusahaan Indonesia harus mampu meningkatkan daya saingnya melalui efisiensi operasional dan inovasi produk. Namun, ia mengakui bahwa hal ini membutuhkan dukungan yang kuat dari pemerintah, baik dalam bentuk insentif investasi maupun kebijakan strategis lainnya.

Isu ketenagakerjaan juga menjadi sorotan penting dalam dinamika sektor manufaktur. Meskipun data menunjukkan adanya peningkatan indeks ketenagakerjaan, Yusuf menilai bahwa pertumbuhan ini masih jauh dari cukup untuk memberikan dampak yang signifikan terhadap pemulihan industri. Ia menyoroti pentingnya kebijakan yang dapat menciptakan lapangan kerja secara berkelanjutan, khususnya di sektor-sektor manufaktur yang memiliki potensi besar untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.

Dalam menghadapi tantangan ini, Yusuf menyarankan agar pemerintah mengambil langkah yang lebih terintegrasi. Ia menekankan pentingnya investasi di bidang teknologi untuk meningkatkan efisiensi produksi dan menciptakan inovasi produk yang dapat bersaing di pasar global. Selain itu, ia juga menyoroti perlunya menjaga stabilitas daya beli masyarakat melalui kebijakan subsidi atau bantuan sosial yang tepat sasaran.

Lebih jauh, Yusuf percaya bahwa sinergi antara pemerintah dan pelaku industri dapat menjadi kunci untuk mengatasi tekanan yang dihadapi sektor manufaktur. Ia menyebutkan bahwa kolaborasi ini harus diarahkan pada penciptaan kebijakan jangka panjang yang tidak hanya berfokus pada solusi sementara, tetapi juga pada penguatan struktur industri secara keseluruhan.

Dengan langkah yang tepat, Yusuf optimistis bahwa sektor manufaktur Indonesia dapat bangkit dari tantangan ini dan memainkan peran yang lebih besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, sektor ini memiliki potensi untuk menjadi pilar utama dalam membangun masa depan ekonomi yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan.