Kenaikan PPN: Langkah Strategis Pemerintah untuk Penguatan Ekonomi Nasional

Share:

Jakarta, Indonesia — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pandangannya terkait kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Dalam konferensi pers bertajuk Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan yang digelar di Jakarta, Sri Mulyani menegaskan bahwa kenaikan ini adalah langkah strategis yang dirancang secara hati-hati dengan memperhatikan daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.

Menurut Sri Mulyani, tarif PPN Indonesia saat ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki struktur ekonomi serupa atau termasuk dalam kelompok G20. Ia mencontohkan bahwa Brasil menetapkan tarif PPN sebesar 17% dengan rasio pajak mencapai 24,67%. Afrika Selatan dan India memberlakukan tarif PPN masing-masing sebesar 15% dan 18%, dengan rasio pajak masing-masing 21,4% dan 17,3%. Bahkan Turki, yang ekonominya juga menghadapi tantangan kompleks, memiliki tarif PPN sebesar 20% dengan rasio pajak 16%.

Di kawasan Asia Tenggara, tarif PPN Indonesia juga berada di tengah-tengah, lebih tinggi dibandingkan Thailand yang hanya 7%, namun lebih rendah dibandingkan Filipina yang menetapkan PPN sebesar 12%. Meski demikian, Sri Mulyani menekankan bahwa kebijakan kenaikan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi domestik, termasuk inflasi yang saat ini berada pada level rendah sebesar 1,5%, serta stabilitas konsumsi rumah tangga sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Ia juga menyoroti bahwa peningkatan PPN menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki tax ratio—indikator penting yang mencerminkan kontribusi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Indonesia saat ini mencatatkan tax ratio yang relatif rendah di kisaran 10,5% hingga 11%, jauh tertinggal dibandingkan negara seperti Filipina (15,6%) atau Meksiko (14,46%). Sri Mulyani menilai bahwa dengan menaikkan PPN secara bertahap, pemerintah dapat memperluas basis penerimaan negara tanpa memberikan tekanan berlebihan pada konsumsi masyarakat.

Sri Mulyani memahami bahwa keputusan ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, ia menjelaskan bahwa kebijakan tersebut dirancang dengan penuh kehati-hatian agar dampaknya tidak menghambat daya beli. “Kami sangat memperhatikan stabilitas konsumsi rumah tangga, yang hingga saat ini tetap terjaga. Inflasi juga terus menurun, menunjukkan bahwa tekanan harga tidak menjadi tantangan signifikan,” ujar Sri Mulyani. Ia juga memastikan bahwa pemerintah akan terus memantau dampak kebijakan ini agar tidak merugikan masyarakat kecil atau pelaku usaha kecil dan menengah.

Selain itu, ia menekankan pentingnya reformasi perpajakan secara keseluruhan. Pemerintah terus berupaya meningkatkan efisiensi pemungutan pajak, memperluas basis pajak, dan memberantas penghindaran pajak untuk memastikan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif PPN hanyalah salah satu instrumen dalam kerangka besar reformasi perpajakan untuk memperkuat fondasi fiskal Indonesia.

Dalam jangka panjang, kenaikan tarif PPN ini diharapkan tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan ruang fiskal yang lebih besar untuk mendukung program-program prioritas, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan. Sri Mulyani optimistis bahwa dengan dukungan masyarakat dan pelaku usaha, kebijakan ini akan membawa manfaat besar bagi perekonomian nasional, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi global di masa depan.