Industri Terancam, Rp300 Triliun Investasi Gagal karena Ketidakpastian Harga Gas

February 6, 2025

Share:

Krisis ketidakpastian harga gas bumi kembali memicu gelombang kekhawatiran di sektor industri Indonesia. Rencana investasi senilai Rp300 triliun yang telah disiapkan oleh sejumlah investor terpaksa dibatalkan akibat ketidakjelasan kebijakan harga gas yang hingga kini masih menjadi perdebatan. Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Eko S.A. Cahyanto, menegaskan bahwa ketidakpastian ini telah berdampak langsung pada kepercayaan investor, membuat mereka urung menanamkan modal dan membangun industri manufaktur di dalam negeri.

Dalam sebuah dialog nasional yang digelar di Jakarta pada Kamis (6/2), Eko mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan yang sebelumnya berencana mendirikan pabrik di Indonesia akhirnya memilih untuk menarik diri. Padahal, mereka telah melakukan berbagai persiapan, mulai dari pembelian lahan hingga perencanaan fasilitas produksi. Namun, ketidakpastian harga gas membuat mereka tidak dapat memprediksi biaya operasional secara akurat, yang pada akhirnya membuat mereka enggan mengambil risiko lebih lanjut.

Harga gas bumi memiliki peran krusial dalam industri manufaktur, mengingat sebagian besar proses produksi di sektor ini membutuhkan pasokan energi yang stabil dan terjangkau. Hingga saat ini, pemerintah hanya memberikan insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) kepada tujuh sektor utama, yaitu industri keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet. Ketujuh sektor ini menikmati harga gas yang lebih rendah, berkisar antara US$6 hingga US$6,5 per million british thermal unit (mmbtu). Namun, sektor lainnya, termasuk industri di kawasan industri yang sedang berkembang, tidak mendapatkan manfaat dari kebijakan ini, sehingga mereka harus membeli gas dengan harga pasar yang jauh lebih tinggi.

Selain keterbatasan sektor yang mendapatkan HGBT, Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI), Sanny Iskandar, menyoroti keterbatasan kuota gas yang diberikan oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Menurutnya, kuota gas yang tersedia hanya mencakup sekitar 40% hingga 45% dari total kebutuhan industri, sehingga banyak perusahaan masih harus membeli gas dengan harga komersial yang jauh lebih mahal.

Tidak hanya itu, Sanny juga menjelaskan bahwa lokasi geografis suatu industri sangat berpengaruh terhadap harga gas yang mereka terima. Industri yang berada dekat dengan sumber pasokan gas bisa mendapatkan harga yang lebih murah, sedangkan mereka yang beroperasi di lokasi yang lebih jauh harus membayar harga lebih tinggi karena biaya distribusi yang meningkat. Jika penggunaan gas melebihi kuota yang ditetapkan, harga yang harus dibayar industri bisa mencapai US$15 hingga US$16 per mmbtu, yang jelas memberatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing produk lokal di pasar global.

Dampak dari ketidakpastian ini semakin luas, terutama bagi pelaku industri yang ingin melakukan ekspansi atau membangun pabrik baru. Tanpa adanya kepastian harga gas, industri sulit merancang strategi bisnis jangka panjang yang berkelanjutan. Kepercayaan investor pun semakin menurun, yang berisiko membuat Indonesia kehilangan peluang investasi besar di sektor manufaktur. Dengan ketidakpastian yang terus berlangsung, pemerintah dituntut untuk segera mengambil langkah strategis guna menyelamatkan industri dari ancaman stagnasi dan penurunan daya saing di tengah persaingan global yang semakin ketat.