Jakarta — Putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan Uni Eropa telah melakukan diskriminasi terhadap minyak kelapa sawit dan biofuel asal Indonesia menjadi sorotan utama dalam hubungan perdagangan internasional kedua pihak. Dalam laporan yang dirilis pada 10 Januari 2025, panel WTO menegaskan bahwa kebijakan Uni Eropa, khususnya dalam Renewable Energy Directive (RED) II, telah melanggar prinsip perdagangan adil dengan menerapkan standar yang merugikan produk sawit Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menanggapi putusan ini dengan penuh optimisme. Menurutnya, keputusan WTO memberikan pijakan yang kuat bagi Indonesia untuk menuntut perlakuan yang lebih adil di pasar global. Airlangga menegaskan bahwa pemerintah siap menghadapi kemungkinan banding dari Uni Eropa dan akan terus berkomitmen memperjuangkan kepentingan nasional.
Putusan WTO ini memuat berbagai temuan penting, termasuk evaluasi terhadap kriteria risiko alih fungsi lahan tidak langsung (ILUC) yang digunakan Uni Eropa untuk menilai biofuel berbasis sawit. Panel WTO menyatakan bahwa data dan metode yang digunakan Uni Eropa tidak memenuhi standar evaluasi yang transparan dan akurat. Selain itu, kebijakan sertifikasi risiko rendah ILUC yang diterapkan dalam RED II dinilai tidak memberikan ruang yang adil bagi produk sawit Indonesia untuk bersaing di pasar Eropa.
Panel WTO juga menyoroti kebijakan insentif pajak biofuel di Prancis melalui The French TIRIB, yang terbukti memberikan perlakuan berbeda terhadap biofuel berbasis rapeseed dan soybean dibandingkan biofuel berbasis sawit. Praktik ini dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan komitmen Uni Eropa untuk menerapkan perdagangan yang setara di tingkat internasional.
Airlangga menekankan bahwa putusan WTO ini bersifat final dan mengikat, sehingga Uni Eropa wajib menyesuaikan kebijakan mereka dalam waktu 60 hari. Ia juga mengungkapkan harapan bahwa keputusan ini dapat menjadi katalis dalam mempercepat penyelesaian perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Menurutnya, kesepakatan dagang yang lebih adil dan saling menguntungkan sangat penting untuk memastikan keberlanjutan hubungan perdagangan kedua pihak.
Selain itu, pemerintah Indonesia memandang putusan ini sebagai momentum untuk memperluas akses pasar bagi produk sawit, tidak hanya di Eropa tetapi juga di kawasan lain. Strategi diversifikasi pasar terus diperkuat dengan menjalin kemitraan baru di Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Langkah ini dilakukan seiring dengan upaya meningkatkan keberlanjutan dalam industri sawit nasional melalui sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Keputusan WTO ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki posisi yang kuat di ranah perdagangan internasional. Kita akan terus memastikan bahwa kepentingan nasional, khususnya terkait sawit, tetap terlindungi dan mampu bersaing secara global,” ujar Airlangga di Jakarta pada Senin (20/1).
Putusan WTO ini tidak hanya menjadi kemenangan hukum bagi Indonesia, tetapi juga menegaskan pentingnya prinsip perdagangan yang adil di tingkat global. Pemerintah optimistis bahwa hasil ini akan memberikan dampak positif bagi industri sawit nasional, sekaligus menjadi pendorong untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan di masa depan.