JAKARTA – Indonesia diakui sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, sebuah keunggulan yang seharusnya menjadi modal utama dalam persaingan industri baterai global. Namun, realitas yang terjadi justru menunjukkan dominasi China sebagai pemain utama dalam produksi baterai lithium-ion (Li-ion) untuk kendaraan listrik (EV). Keunggulan China ini bukan sekadar kebetulan, melainkan hasil dari strategi jangka panjang yang mencakup integrasi vertikal rantai pasokan, akuisisi tambang di luar negeri, serta investasi besar-besaran di bidang manufaktur dan riset teknologi.
Berdasarkan data terbaru dari US Geological Survey (USGS) pada Januari 2025, China hanya memiliki cadangan nikel sebesar 4,4 juta ton, angka yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yang mencatatkan cadangan sebesar 55 juta ton atau sekitar 42% dari total cadangan dunia. Dari sisi produksi, Indonesia bahkan menyumbang 50% dari total produksi nikel global. Namun, besarnya cadangan dan tingginya produksi tidak otomatis menjadikan Indonesia sebagai pemimpin industri baterai. China tetap mendominasi dengan pangsa pasar lebih dari 53% dalam produksi baterai Li-ion untuk kendaraan listrik, jauh melampaui Korea Selatan (16%) dan Jepang (11%).
Menurut laporan China Automotive Battery Innovation Alliance (CABIA), total instalasi baterai global pada tahun 2024 mencapai 785,6 Gigawatt hours (GWh), meningkat 26,4% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari angka tersebut, China menyumbang hampir 70%, dengan kapasitas terpasang mencapai 548,4 GWh, naik 41,5% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, Indonesia baru memiliki kapasitas produksi baterai sekitar 10 GWh, sebuah angka yang masih jauh dari cukup untuk bersaing dengan raksasa industri baterai dunia.
Data dari SNE Research, lembaga riset asal Korea Selatan, menunjukkan bahwa sepanjang 2024, penggunaan baterai untuk kendaraan listrik secara global mencapai 894,4 GWh, meningkat 27,2% dibandingkan tahun sebelumnya. China tetap mempertahankan posisi sebagai pemimpin global dengan pangsa pasar 37,9%, bahkan mengalami peningkatan dari 36,6% pada 2023. Dominasi China dalam industri ini tidak hanya disebabkan oleh kapasitas produksi yang besar, tetapi juga oleh kendali mereka atas rantai pasokan bahan baku strategis yang dibutuhkan untuk produksi baterai.
Strategi China dalam Menguasai Industri Baterai
Keberhasilan China dalam mendominasi industri baterai tidak hanya bertumpu pada kapasitas produksinya yang besar, tetapi juga pada strategi investasi dan akuisisi sumber daya mineral di berbagai belahan dunia. Perusahaan-perusahaan China, seperti Contemporary Amperex Technology Co. (CATL) dan Tianqi Lithium, telah mengamankan kepemilikan atas tambang litium di berbagai negara, menguasai sekitar dua pertiga pasokan litium global.
Selain itu, Tsingshan Holding Group, salah satu perusahaan metalurgi terbesar asal China, telah membentuk konsorsium nikel terbesar di dunia yang berlokasi di Indonesia. Dengan kendali penuh atas produksi dan pengolahan nikel, perusahaan-perusahaan China dapat memastikan pasokan bahan baku yang stabil untuk mendukung industri baterainya.
Investasi besar-besaran juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing dalam mendukung ekosistem baterai China. Tesla, misalnya, membangun Gigafactory di Shanghai, sementara Volkswagen memiliki saham di produsen baterai Guoxuan High-Tech Co. dan JAC Motors. Insentif yang diberikan oleh pemerintah China, seperti subsidi kendaraan listrik dan kebijakan proteksionis terhadap industri domestik, telah menarik investasi global dan memperkuat posisi negara tersebut sebagai pusat manufaktur baterai dunia.
Menurut data dari Arthur D. Little dan Mercator Institute for China Studies, saat ini enam dari sepuluh produsen baterai terbesar di dunia berasal dari China. Ke depan, China diperkirakan akan terus memperluas dominasinya dengan menguasai hampir 70% kapasitas produksi baterai global pada 2030. Total kapasitas produksi baterai di China diprediksi mencapai lebih dari 6.200 GWh, dengan CATL sendiri diperkirakan akan memproduksi lebih banyak baterai dibandingkan gabungan produksi dari Kanada, Prancis, Hungaria, Jerman, dan Inggris.
Mekanisme Integrasi Vertikal: Kunci Keunggulan China
Keunggulan China dalam industri baterai juga didukung oleh integrasi vertikal yang mencakup seluruh rantai pasokan kendaraan listrik, mulai dari eksplorasi tambang, pemurnian bahan baku, manufaktur baterai, hingga produksi kendaraan listrik itu sendiri. Dengan menguasai seluruh tahapan produksi, China mampu menekan biaya dan memastikan efisiensi dalam rantai distribusi.
Strategi ini telah diterapkan sejak pertengahan 1990-an, ketika pemerintah China mulai mendorong riset dan pengembangan teknologi baterai melalui berbagai kebijakan nasional. Pada periode 2009-2014, pemerintah China semakin agresif dalam mempromosikan kendaraan energi baru (NEV) dan menerapkan kebijakan khusus untuk mempercepat pertumbuhan industri ini. Melalui investasi publik dan insentif fiskal, China berhasil membangun ekosistem industri baterai yang kuat dan berkelanjutan.
Dalam skala global, China juga menggunakan pendekatan strategis untuk mengamankan pasokan bahan baku kritis seperti litium, kobalt, dan nikel. Negara ini telah mengakuisisi tambang litium di Amerika Latin, yang dikenal sebagai “Segitiga Litium” (Argentina, Chili, dan Bolivia), serta meningkatkan investasinya di Afrika dan Asia Tenggara. Melalui strategi “going out,” perusahaan-perusahaan China menawarkan investasi dalam pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang sebagai imbalan atas akses eksklusif ke sumber daya mineral.
Indonesia: Raksasa Nikel yang Belum Bangkit dalam Industri Baterai
Meskipun Indonesia memiliki keunggulan dalam cadangan dan produksi nikel, pengembangan industri baterai dalam negeri masih tertinggal jauh dibandingkan China. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya investasi dalam teknologi pemurnian dan manufaktur baterai, yang masih didominasi oleh perusahaan asing.
Pabrik pengolahan yang beroperasi di Indonesia sebagian besar dimiliki oleh perusahaan China, yang berarti bahwa sebagian besar nikel yang ditambang di Indonesia diekspor dalam bentuk bahan baku, kemudian diproses dan digunakan untuk produksi baterai di China. Model bisnis ini menguntungkan China, tetapi membatasi potensi Indonesia dalam mengembangkan industri hilir yang lebih bernilai tambah.
Selain itu, regulasi dan kebijakan domestik yang belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri baterai menjadi kendala lain. Meskipun pemerintah Indonesia telah berupaya menarik investasi asing dalam industri ini, seperti dengan membangun ekosistem industri baterai di Morowali dan Weda Bay, namun langkah tersebut masih belum cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam rantai pasokan baterai global.
Tantangan lainnya adalah ketergantungan pada teknologi asing dan minimnya transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Indonesia. Tanpa adanya pengembangan sumber daya manusia dan riset teknologi yang memadai, Indonesia tetap berisiko menjadi pemasok bahan mentah tanpa memiliki kendali atas industri baterai yang bernilai tinggi.
Masa Depan Industri Baterai: Apa Peran Indonesia?
Dengan pertumbuhan permintaan global untuk baterai Li-ion yang diperkirakan akan mencapai 4.700 GWh pada 2030, masih ada peluang bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasokan industri ini. Namun, diperlukan langkah konkret dari pemerintah dan pelaku industri untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pemasok nikel bagi China, tetapi juga mampu mengembangkan industri baterai secara mandiri.
Strategi yang dapat dilakukan mencakup peningkatan investasi dalam teknologi pengolahan nikel, penguatan kebijakan hilirisasi yang lebih agresif, serta kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan global yang bersedia melakukan transfer teknologi. Jika langkah-langkah ini dapat diimplementasikan dengan baik, maka Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemain utama dalam industri baterai, bukan sekadar sebagai penyedia bahan baku bagi negara lain.