Pencabutan Izin Usaha Investree oleh OJK: Sebuah Langkah Hukum Atas Pelanggaran Ekuitas dan Risiko Gagal Bayar

Share:

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali mengambil langkah tegas dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator utama sektor jasa keuangan di Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 2024, OJK resmi mencabut izin usaha PT Investree Radika Jaya (Investree), sebuah perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending yang telah beroperasi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-53/D.06/2024, yang dikeluarkan setelah serangkaian evaluasi terhadap kondisi keuangan dan kepatuhan hukum dari perusahaan tersebut.

Pencabutan izin usaha ini dilakukan berdasarkan pelanggaran yang serius terhadap sejumlah ketentuan yang berlaku, terutama terkait kewajiban ekuitas minimum yang harus dipenuhi oleh setiap penyelenggara layanan pendanaan berbasis teknologi informasi (LPBBTI). Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022, setiap perusahaan fintech P2P lending diwajibkan untuk menjaga kondisi keuangan yang sehat melalui pemenuhan ekuitas minimum, guna memastikan kelancaran operasional dan perlindungan bagi para lender (pemberi pinjaman) maupun borrower (peminjam) yang menggunakan platform mereka.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa pencabutan izin usaha Investree merupakan langkah terakhir yang diambil setelah perusahaan tersebut gagal menunjukkan perbaikan signifikan dalam hal kepatuhan terhadap regulasi yang ada. “Kami telah memberikan waktu dan kesempatan kepada Investree untuk memperbaiki kinerja dan memenuhi kewajiban ekuitas minimum, namun sampai batas waktu yang telah ditentukan, mereka tidak dapat memenuhinya,” ujar Ismail dalam keterangan resminya pada 22 Oktober 2024.

Masalah yang dialami Investree tidak hanya terbatas pada pelanggaran ekuitas minimum. Perusahaan ini juga terlibat dalam masalah gagal bayar yang telah menjadi perhatian OJK selama beberapa bulan terakhir. Berdasarkan data yang dimiliki OJK, tingkat risiko gagal bayar atau rasio tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) di Investree mencapai 16,44% pada 1 Februari 2024. Angka ini jauh melebihi batas toleransi yang ditetapkan oleh OJK, yaitu sebesar 5%. Tingkat wanprestasi yang tinggi ini menunjukkan bahwa banyak peminjam di platform Investree yang gagal memenuhi kewajiban mereka untuk membayar pinjaman tepat waktu, yang pada akhirnya merugikan para pemberi pinjaman.

Sebelum izin usaha dicabut, OJK telah mengambil sejumlah langkah preventif, termasuk memberikan sanksi administratif kepada Investree pada awal tahun 2024. Pada 13 Januari 2024, OJK menjatuhkan sanksi terkait pelanggaran dalam penyaluran pinjaman yang tidak sesuai dengan regulasi. OJK juga telah memberikan peringatan dan meminta pengurus serta pemegang saham Investree untuk mencari investor baru dan memperbaiki struktur keuangan mereka, namun upaya tersebut tidak berhasil memperbaiki situasi.

Sebagai konsekuensi dari pencabutan izin usaha ini, Investree diwajibkan untuk menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya sebagai penyelenggara LPBBTI. Namun, perusahaan ini tetap diwajibkan untuk menyelesaikan semua kewajiban perpajakannya dan memenuhi tanggung jawab kepada para lender, borrower, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. OJK juga melarang pihak-pihak terkait di dalam perusahaan, termasuk pemegang saham dan pengurus, untuk mengalihkan atau menjaminkan aset perusahaan, serta melakukan tindakan-tindakan lain yang dapat mengurangi nilai aset tersebut.

Selain itu, OJK mewajibkan Investree untuk menyelesaikan seluruh hak-hak karyawan mereka sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Tanggung jawab kepada karyawan ini merupakan bagian dari kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh perusahaan, meskipun izin usahanya telah dicabut.

Lebih lanjut, OJK juga telah melakukan Penilaian Kembali Pihak Utama (PKPU) terhadap mantan CEO Investree, Adrian Asharyanto Gunadi. Hasil PKPU menunjukkan bahwa Adrian tidak lulus penilaian dan dikenai sanksi berupa larangan untuk menjadi pihak utama atau pemegang saham di lembaga jasa keuangan lainnya. Langkah ini mencerminkan komitmen OJK dalam memastikan bahwa para pemimpin perusahaan fintech bertanggung jawab secara penuh atas kinerja dan tindakan perusahaan yang mereka kelola.

Meski demikian, sanksi yang diberikan kepada Adrian tidak berarti bahwa ia bebas dari tanggung jawab hukum lainnya. OJK juga bekerja sama dengan aparat penegak hukum (APH) dalam menelusuri dugaan tindak pidana yang mungkin telah dilakukan oleh Adrian dan pihak-pihak terkait lainnya selama pengelolaan Investree. Salah satu tindakan yang telah diambil OJK adalah pemblokiran rekening bank yang dimiliki oleh Adrian dan beberapa pihak lain, serta melakukan penelusuran aset untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut tidak dialihkan secara ilegal.

Dalam upaya lebih lanjut, OJK juga berencana untuk bekerja sama dengan APH dalam proses penegakan hukum di luar negeri, jika diperlukan, untuk memulangkan Adrian Asharyanto Gunadi guna menjalani proses hukum lebih lanjut di Indonesia. Upaya ini mencerminkan pendekatan tegas OJK dalam menangani pelanggaran hukum di sektor jasa keuangan, dengan tujuan menjaga kepercayaan publik dan stabilitas pasar keuangan di tanah air.

Pencabutan izin usaha Investree merupakan salah satu contoh bagaimana OJK terus menjalankan perannya sebagai pengawas yang bertanggung jawab dalam menjaga kestabilan sektor keuangan. Langkah-langkah yang diambil tidak hanya bertujuan untuk menegakkan aturan, tetapi juga untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, termasuk para pemberi pinjaman, peminjam, dan karyawan yang terlibat dalam industri fintech di Indonesia.